Wednesday, December 6, 2006

LULUNG,
DOLOG-NYA MASYARAKAT DAYAK MERATUS


Dikalangan masyarakat Dayak Meratus telah berkembang suatu tradisi turun temurun yang mengharuskan mereka menyimpan hasil panen padi ke dalam ‘lulung’. Lulung atau yang lebih dikenal dengan sebutan kindai (lumbung) terbuat dari bahan purun berbentuk tabung bundar. Setiap lulung mampu menyimpan padi sedikitnya 7 kwintal (700 kg). Berdasarkan pemantauan di lapangan, lulung yang dimiliki masyarakat Adat Dayak Meratus HST jumlahnya mencapai 208 buah. Jika jumlah tersebut dikalikan dengan daya tampung lulung yang diperkirakan sebesar 700 kg, maka stok/persediaan padi HST dalam satu kali musim panen paling sedikit mencapai 145.608 kg (145 ton). Suatu jumlah yang cukup signifikan untuk menjamin ketahanan pangan HST secara keseluruhan.
Oleh karena itu, ketika orang lain mulai gelisah akibat berkurangnya stok beras, maka tidaklah demikian dengan masyarakat adat Meratus terutama masyarakat adat yang memegang teguh prinsif nenek moyangnya. Tradisi turun temurun yang dipercaya mampu memberi sugesti tertentu terhadap keberhasilan bercocok tanam diladang adalah aruh adat. Upacara sakral ini bagi masyarakat Dayak Meratus yang menganut kepercayaan animisme/ kaharingan sangat menentukan bagi keberhasilan panen. Oleh karena itu setiap kali akan memulai tanam padi mereka melakukan aruh adat. Demikian pula ketika memulai dan selesai panen mereka melakukan aruh adat serupa, bahkan ketika akan mulai menggunakan hasil panen untuk makan sehari-hari juga harus didahului dengan upacara adat.
Dalam kehidupan Dayak meratus juga terdapat pantangan/ larangan untuk menjual hasil panen yang sudah dimasukan ke dalam lulung. Padi dalam lulung hanya akan digunakan bila hasil panen berikutnya benar-benar gagal. Sungguh hal ini merupakan suatu bentuk antisipasi yang luar biasa terhadap kemungkinan adanya kelangkaan padi disaat musim paceklik. Keteguhan memegang tradisi ini sehingga tidak jarang padi yang ada dalam lulung usianya mencapai lebih dari lima tahun.
Memang tak semua orang tahu keberadaan lulung ini, kecuali para petualang yang suka keluar masuk hutan dan sesekali menginap di perumahan suku Dayak ini. Keberadaan lulung ini boleh dibilang dolog-nya masyarakat Dayak Meratus. Yang membedakannya dengan Dolog Pemerintah adalah kapasitasnya yang kecil dan dikelola oleh masing-masing Kepala Keluarga dalam satu rumpun Balai Adat.
Keberadaan lulung ini masih dapat kita temukan di Balai-Balai Adat Patikala’in, Papagaran, Tamburasak, Pantai Mangkiling, Datar Ajab, dan Haruyan Dayak di kecamatan Hantakan. Sistem /tradisi penyimpanan padi ala Dayak Meratus ini pernah diperkenalkan Bupati HST Drs.H. Saiful Rasyid, MM kepada salah seorang Dirjen di Departemen Pertanian Jakarta yang melakukan kunjungan ke kab. HST. Ketika itu kapasitas Drs. H. Saiful Rasyid adalah sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan Regional Kalimantan.
Tradisi stok padi ala masyarakat Dayak ini terbukti mampu mempertahankan ketersediaan padi sepanjang masa, yang pada akhirnya tentu saja juga mampu memberikan kontribusi bagi penciptaan ketahanan pangan HST, bahkan diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi ketersediaan pangan se Kalimantan.


1 comment:

fa_amelia said...

cerita lebih banyak tentang Hantakan dunk...
ttg sosial budayanya....
ttg kearifan lokalnya...
ttg kondisi geografisnya...
all abaout Hantakan dah... ^.^v